Budaya Suporter Indonesia
Siapa yang tidak mengenal aksi suporter? mereka bisa nekad
melakukan perjalanan jauh meskipun tanpa modal uang sedikitpun atau bahkan
melakukan aksi kekerasan jika tim yang menjadi dukungan mereka kalah. Dengan
jumlah penduduk 210 juta jiwa, Indonesia banyak potensi sumber daya supporter
yang dapat diserap. Ditambah dengan adanya budaya yang sudah mengakar di
masyarakat bahwa sepakbola merupakan olahraga paling populer di Indonesia
terlepas dari semakin buruknya prestasi Timnas kita.
Sepakbola dan supporter adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan. Dimana ada sepakbola disitu ada supporter. Sepakbola telah mengubah pikiran normal manusia menjadi tergila-gila. Tidak memandang tua, muda maupun anak-anak, kecintaan mereka terhadap klub yang dibelanya telah menjadikan bukti kesetiaan mereka terhadap klub yang dicintainya. Disudut-sudut jalan dipasang berbagai hiasan bendera maupun spanduk dengan berbagai warna kebesarannya merah, hijau, maupun biru telah menjadi simbol dan identitas mereka.
Sepakbola dan supporter adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan. Dimana ada sepakbola disitu ada supporter. Sepakbola telah mengubah pikiran normal manusia menjadi tergila-gila. Tidak memandang tua, muda maupun anak-anak, kecintaan mereka terhadap klub yang dibelanya telah menjadikan bukti kesetiaan mereka terhadap klub yang dicintainya. Disudut-sudut jalan dipasang berbagai hiasan bendera maupun spanduk dengan berbagai warna kebesarannya merah, hijau, maupun biru telah menjadi simbol dan identitas mereka.
Seiring dengan perkembangan zaman virus-virus suporter
sepakbola mulai masuk di Asia dan mulai merambah di Indonesia, kita
mengenal suporter atraktif yang dirintis oleh Aremania (Arema Malang),
Pasoepati (Persis Solo), dan kemudian diikuti dengan munculnya berbagai
kelompok suporter lain di Indonesia seperti Slemania (PSS Sleman), Brajamusti
(PSIM Yogyakarta), Persik Mania (Persik Kediri), The Jak (Persija Jakarta),
Viking (Persib Bandung), Laviola (PersitaTangerang), Macz Man (PSM Makasar),
Panser Biru dan SNEX (PSIS Semarang),Delta Mania (Deltras Sidoarjo), Bonek
(Persebaya Surabaya), dan sebagainya menjadi fenomena baru bagi perkembangan
suporter di Indonesia.
Kehadiran suporter sepakbola dengan berbagai atraksi-atraksi yang kreatif di stadion tersebut telah menjadi warna baru bagi kebudayaan persepakbolaan di Indonesia. Akan tetapi, sudah lazim fanatisme suporter klub sepakbola Indonesia seperti menjadi gejala sosial yang berujung pada kondisi sosio-ekonomi masyarakat Indonesia saat ini yang erat berkait dengan kefrustrasian dan keterpurukan. Hitam putih dunia suporter Indonesia selalu bertumpang tindih dengan hiruk pikuk bangsa Indonesia dalam segala hal yang mencakup politik, budaya, pendidikan dan ekonomi. Berbagai kerusuhan antarsuporter yang selama ini sering terjadi menegaskan potret buram secara umum. Kerusuhan dan keributan seolah sudah menjadi paket yang disiapkan dari rumah dan akan diperankan dalam menonton sepakbola nantinya.
Kehadiran suporter sepakbola dengan berbagai atraksi-atraksi yang kreatif di stadion tersebut telah menjadi warna baru bagi kebudayaan persepakbolaan di Indonesia. Akan tetapi, sudah lazim fanatisme suporter klub sepakbola Indonesia seperti menjadi gejala sosial yang berujung pada kondisi sosio-ekonomi masyarakat Indonesia saat ini yang erat berkait dengan kefrustrasian dan keterpurukan. Hitam putih dunia suporter Indonesia selalu bertumpang tindih dengan hiruk pikuk bangsa Indonesia dalam segala hal yang mencakup politik, budaya, pendidikan dan ekonomi. Berbagai kerusuhan antarsuporter yang selama ini sering terjadi menegaskan potret buram secara umum. Kerusuhan dan keributan seolah sudah menjadi paket yang disiapkan dari rumah dan akan diperankan dalam menonton sepakbola nantinya.
Tanggapan
Secara
lebih spesifik, kita di sini bicara soal norma dan nilai, dua hal yang menjadi
dasar pembentukan kode moral sebuah budaya, sistem-sistem simbol di mana
perilaku diberi label “ baik”, “buruk”, “benar”, atau “salah”. Di
Indonesia, supporter divonis memperburuk citra sepakbola dan dianggap menjadi
problem bangsa. Tindak kekerasan, kerusuhan, dan jatuhnya korban baik luka,
tewas, rusak dan terganggunya ketertiban, pranata sosial sampai prasarana umum
merupakan citra buruk yang melekat pada suporter sepakbola Indonesia. Kerusuhan
suporter yang terjadi di Indonesia sebenarnya bukan isu baru, karena sejak lama
sebenarnya sudah sering terjadi.
Berikut
merupakan beberapa budaya supporter di Indonesia
1.
Antusiasme supporter yang terlalu tinggi
dan fanatik membuat mereka rela menunggu di Senayan dan diperlakukan seperti
mengantri sembako. Seharusnya mereka tidak terlalu memaksakan diri untuk
menonton di Senayan jika memang kehabisan tiket. Mayoritas supporter yg
anarkis di GBK adalah supporter dari daerah dan luar jawa. Jika anda orang
manado lalu terlanjur dateng ke Jakarta, mengantri dari pagi, lalu hingga sore
tiket masih belum ada kepastian. Pertanyaannya, Wajar tidak jika itu
menyebabkan timbulnya emosi dan berbuat anarkis? Pemecahannya jika memang
kehabisan tiket cukuplah untuk menonton di tempat lain.
2.
Supporter
Indonesia berkelakuan baik apabila tim yang mereka dukung menang, tapi bisa
mengamuk di kandang sendiri apabila tim kesayangannya kalah, akibatnya
fasilitas stadion rusak, bahkan pertandingan bisa terancam dihentikan.
3.
Di
Indonesia, jika sebuah tim tertinggal 3-0, pendukung mencemooh tim yang kalah,
bertindak anarkis, menghancurkan fasilitas stadion dan berkelahi dengan
supporter tim lawan. Berbanding terbalik dengan Inggris, jika sebuah tim
tertinggal 8-0 pun para pendukungnya masih bisa bersorak menyanyikan tentang
'pahlawan' mereka.
4.
Hooligan
di Indonesia diartikan menjadi sebuah trend bahkan fashion, karena namanya yang
sangat keren dan kebarat-baratan. Kata Hooligan sendiri tidak hanya berfungsi
menjadi kata benda (noun) saja yang berarti pendukung fanatik tim Inggris.
Dalam konteks yang lebih luas, Hooligan bisa pula berfungsi menjadi kata sifat
(adjective), kata kerja (verb), dan kata keterangan (adverb). Semua kelompok
kata tersebut mewakili perilaku, sifat, pekerjaan atau perbuatan, dan
keterangan atau keadaan yang menggambarkan perilaku tidak sportif, tidak
jantan, tidak mau mengakui dan menerima kekalahan, anarki, destruktif, serta
fanatisme buta. Budaya salah kaprah yang terjadi dikalangan para pecinta
sepakbola tanah air selama ini. Kenapa kita tidak percaya diri untuk memakai
dan mengembangkan culture kita sendiri yang sudah turun menurun dan cenderung
bangga memakai culture luar. Sudah saat nya kita semua kembali pada culture
budaya kita sebagai orang timur, termasuk dalam hal menjadi seorang supporter
sepakbola. Mengapa harus bangga menggunakan kata-kata Hooligan, Ultras, atau
sejuta kata keren lainnya yang jelas-jelas bukan milik kita. Perkenalkan budaya
kita pada dunia bukan kita yang menjadi korban budaya dunia.
5.
Penggunaan bahasa dalam olahraga berpotensi
menimbukan persepsi keliru. sedikit pemahaman terhadap bahasa yang dengan
sedikit pengamatan pada bahasa yang digunakan dalam berita atau siaran
olahraga, kita akan dengan mudah menemukan bahwa metafora kekerasan telah
merasuk ke dalamnya. Ungkapan-ungkapan offensif, seperti mambantai, menggilas,
menghancurkan, mematahkan, atau membungkam lawan, adalah ekspresi yang kerap
kali digunakan dalam memberitakan bahwa sebuah sebuah tim dan berbuat anarkis
dalam pertandingan sepak bola di indonesia sudah menjadi wajar
karena suporter indonesia selalu diselimuti atmosfer gelap.
Tak
sedikit yang menilai, fenomena suporter sepak bola indonesia merupakan keikutsertaan
terhadap kisruhnya persepakbolaan Indonesia secara komunal. Media cetak
dan media televisi pun selalu kerap bernada jelek. Alih-alih menjadi wadah
pembinaan, PSSI justru memberikan teladan buruk, berupa perilaku melawan hukum,
yang, anehnya, betah dipelihara dan ditutup-tutupi pengurusnya sendiri.
Ini
merupakan cerminan budaya dari kurang dewasanya segelintir sopporter kita yang
masih berpikiran sempit dalam mendukung tim kesayangan. Fanatisme dan harapan
berlebih terhadap tim kesayangan tanpa melihat kenyataan yang terjadi dalam tim
yang didukungnya justru akan semakin mendorong terjadinya sikap anarkis jika
tim kesayangan mengalami kekalahan. Semestinya supporter harus berusaha betul
memahami kondisi tim pada saat teraktual: mungkin terlalu banyak pemain kunci
yang cedera, kualitas pemain pengganti yang tidak sebanding dengan pemain
reguler. Faktor kelelahan yang menerpa sebagian pemain (terutama jika setelah
melakukan pertandingan away yang cukup jauh, hingga kualitas pelatih yang
kurang mumpuni. Hal-hal seperti ini seharusnya dipahami oleh supporter tim, dan
justru sebaiknya supporter bisa memberikan dukungan atau masukan ke pihak klub
mengenai ini. Dukungan supporter akan lebih mempunyai efek positif bagi mental
tim jika diberikan justru pada saat tim sedang terpuruk.
Namun
ada faktor-faktor lain yang bisa menimbulkan anarkisme supporter yaitu:
buruknya manajemen liga, masih kurangnya stok wasit yang berkualitas, standar
kenyamanan stadion indonesia yang rata-rata dibawah kualitas standar kenyamanan
yang distandarkan FIFA, dan adanya contoh buruk yang ditunjukkan oleh sebagian
pengurus PSSI yang masih mecari keuntungan dari organisasi dan bukan memberikan
keuntungan bagi organisasi.
Kesimpulan
Bagaimanapun suporter
sepakbola adalah aset berharga bagi persepakbolaan nasional. Suporter tidak
hanya mampu menyuarakan dukungannya kepada klub kesayangannya kala bertanding,
namun juga mampu menyuarakan aspirasi demi terciptanya persepakbolaan Indonesia
yang berprestasi dan profesional. Suporter yang mungkin selama ini berseteru,
tak seharusnya melanjutkan budaya rasis dan anarkisnya dalam menyambut
kompetisi mendatang. Ini adalah cita-cita luhur suporter Indonesia yang
menjunjung tinggi peradaban sepakbola dunia.
Dengan sepak bola,
puluhan ribu rakyat Indonesia dapat sukarela berkumpul dengan atribut dan warna
baju yang sama, dengan gemuruh semangat dan nyanyian yang sama di satu tempat
dalam satu waktu demi satu kehormatan dan kejayaan satu bangsa, yaitu bangsa
Indonesia.
Mudah-mudahan Sepakbola
nasional kembali mencatatkan sejarahnya dengan menyatukan suporter lokal
menjadi suporter nasional dengan asas perdamaian dan profesional. Tidak ada
lagi rasisme baik bertajuk lagu, yel, maupun bentuk lainnya dan tidak ada lagi
budaya anarkisme dalam nama dan bentuk apapun. Tidak ada lagi kebencian, tidak
ada lagi tawuran, yang ada adalah kenyamanan menonton Liga Indonesia dan
sambutan hangat suporter tim tamu.
Sumber : riskaamelia01.blogspot.com